Peci
“Pak, Rindi mohon, tinggalkan itu semua. Bapak tidak takut apa?” terdengar suara keras sambil agak meninggi kepada. Tidak peduli itu siapa? Yang jelas ia sangat marah pada orang yang ia sayangi di depannya. Raut muka, dan sorotan kedua bola matanya tajam tanpa bisa ia tahan, melolot tanpa mampu terkendali layaknya menghadapi musuh. Sedangkan orang yang ia panggil ‘Pak’ hanya acuh sambil menata lembaran kertas-kertas penuh tabel-tabel berisi kolom nama, dan jumlah uang, ia tak peduli, bahkan pura-pura tidak mendengar. Sesekali menutup kuping. Rindi kembali mengeyel pada laki-laki yang rupanya sekitar 50 tahunan berbadan kurus, tinggi.
“Bapak ini belum tua, masih kuat bekerja. Dulu Rindi memang bodoh dan dungu merelakan Bapak kerja beginian. Sekarang? Tidak! Rindi tidak mau. Bapak jangan jadi orang yang malas dan ingin semuanya serba instan. Bapak mengerti apa tidak maksud Rindi, Pak?” gadis berjilbab krem tersebut masih dengan suara meninggi, namun sudut mulai matanya berair. Sekuat tenaga ia menahan matanya yang mulai menghangat. Sayangnya, lagi-lagi orang yang ternyata adalah bapaknya tersebut sudah memasukan berkas-berkas dan kertas dengan rapi, berpakain rapi, celana kain, baju koko dan memakai peci. Peci putih. Lalu berangkat begitu saja tanpa menghiraukan ocehan anaknya yang ternyata sudah tumpah air mata. Pintu tertutup dengan keras, semakin menghanyutkan gadis yang jilbabnya sudah penuh bundar-bundar air mata yang jatuh. Ia bangkit pelan dan menguatkan hatinya, mengusap pipi dengan kain tipis pada jilbabnya. Berjalan menurut langkah memasuki kamar pojok yang tertutup warna kelambu memudar. Di kamar itulah ia melanjutkan isak tangisnya yang semakin menjadi-jadi. Ada batin yang luka menyayat seperti silet tipis nan tajam hingga nafasnya terengah-engah hampir habis. Dia terus bertanya-tanya mengapa demikian? Sambil mengintip di balik jendela, ia melihat bapaknya naik mobil pick up bersama orang-orang lainnya. Berpakain mirip dan dipandu oleh sopir serta satu orang di depan membawa spiker. Haruskah bapaknya begitu? Tanyanya. Jawabannya tidak pernah ada.
Terbayang perkataan Bapaknya.
“Ini demi Rindiani. Bapak rela berjalan panas-panas. Untuk apa kalau tidak untuk putri bapak satu-satunya. Bapak mempertaruhkan apapun untuk Rindi. Meski Bapak rela malu, dicaci, diusir, dibilang kafir sekalipun. Bapak tidak masalah, asal demi Rindi.” Sudah sepuluh tahun ini, Bapaknya mencari uang dengan meminta sumbangan atas nama masjid yang sejatinya untuk pribadi. Itulah yang Rindiani sesalkan, mengapa harus menipu, mengapa harus mengatasnamakan agama untuk kepentingan pribadi. Apa yang meracuni bapaknya hingga sedemikan kelakuannya. Bapaknya sangat keras kepala, dan sudah tidak bermoral, ia tahu hal ini. Rindiani sayang pada Bapaknya, maka dari itu dia terus berpikir bagaimana menghentikan semuanya.Jika teringat kembali matanya meleleh.
‘SUMBANGAN MASJID Al-FALAQ’, baliho pick up tersebut berhenti di sebuah jalan kelokan sepi yang hanya terdapat kebun-kebun orang. Orang-orang dengan pakaian muslim dengan peci tersebut semua turun satu-persatu, nampak seorang yang boleh dibilang koordinator mengatur para orang itu. Kemudian tanpa dikomando, orang-orang tersebut berjalan menyebar dengan membawa berkas-berkas dan bolpoin mengkilat dengan tinta hitam pekat. Terik menyengat ubun-ubun yang tertutup oleh peci putih itu tak merintangi langkah para orang yang tidak mau dikatakan penipu.
“Mungkin ini seng terakhir Dul,” kata Bapak usia 45 tahunan, yang berjalan beriringan dengan Abdul.
“Lumayan Syim, bisa untuk kebutuhan puasa dan ramadhan tahun ini. Jadi kau mau berhenti karena permintaan Rindi, Syim? Syim...Hasyim jangan mudah kena dengan anak gadismu yang memel itu. Sudahlah Syim” Sahut Abdul.
“Kau tahu, bahwa kemarin Sutris sudah kena tangkap polisi karena dituduh menipu. Lama-lama aku juga takut, Dul. Kali ini niatku sudah bulat, Dul. Ini terakhir. Mungkin duit ini akan aku gunakan untukku ke Malaysia buruh di sana. Rindiani pingin kuliah katanya. Ya kalo cuman ngandelne duit sumbangan, yo ora cukup kanggo kuliahe Rindi. Rumangsaku kuliah ini butuh dana besar, Dul. Pirang juta yo, Dul? Kepingin anakku jadi dokter Dul, hehe!”. Abdul menghela nafas, terdengar meremehkan ucapan Hasyim. Lalu menepuk pundak Hasyim.
“Wes, Syim. Ngipi itu pancen enak. Tapi yo tidak usah ketinggian. SMA kui cukup Syim kanggo kerja di supermarket. Lawong habis ini, Rudi tak suruh kerja di sana kok.” Abdul dengan tertawa lebar. Hasyim kecewa dengan perkataan Abdul, dan berusaha menyembunyikan kekesalannya pada Abdul. Abdul tidak berpikiran panjang. Panas siang itu muncul dengan kekuatan yang luar biasa, hingga dahi dibuat basah kuyup.
“Enak saja minta sumbangan! Sana pergi, Pak! Lha dikira gampang tho cari duwit, kok mbok mintai sumbangan. Masjid! Halah aku ngerti kowe iki ngapusi. Sana Pak tobat, jangan sampai masuk neraka! Aku bisa lho ngelaporne kowe ke polisi! Mau! Pergi!” dengan nada kasar di balik pintu gerbang hitam, Hasyim dibentak-bentak. Hasyim hanya melotot, lalu pergi. Kembali dari rumah ke rumah. Ia berhenti di pintu terbuka berwarna oranye.
“Assalamualaikum. Assalamualaikum.” Pemilik rumah datang agak kaget dengan kehadirannya, pemilik rumah dengan kaos dalam putih dan sarung kusam.
“Sumbangan masjid, Pak. Monggo, 10 ribu, 20 ribu saya terima. Ini bapak sebelah baru menyumbangkan. Tabungan surga” Lirih Hasyim. Tanpa kata-kata tuan rumah masuk, selang beberapa menit tuan rumah datang. Memberikan uang senilai 500 perak pada Hasyim.
“Adanya ini.” Nada dingin tak peduli, kemudian pergi ke dalam rumah. Hasyim sedikit emosi. 500 perak.
“Semoga masuk surga, Pak” sahut Hasyim kemudian pergi tanpa catatan penting dalam berkas-berkas dan bolpoin kilatnya. Malah terdengar suara caci dari dalam.
“Untuk masjid? Gundule piye! Ngemis aja sekalian!” Hasyim mendengar cacian itu. Ah sudah kebal, katanya. Kembali ke rumah satu ke rumah lain. Berjalan pelan, mengintip dengan detail pintu-pintu rumah yang kiranya terbuka dan bisa dihampiri, nampaknya tertutup semua. Hal ini memang sengaja, sengaja ditutup pikirnya.
Menjelang sore, Hasyim gontai melangkah. Ia sudah tak tahan dengan baju koko, peci yang bau keringatnya sendiri. Koordinator menyuruhnya berkumpul di tempat pertama kali turun. Nampaknya ia akan kembali ke sana. Dengan membawa tas hitam slempang kecil, wajah hitam kusam dan mengkilap ia melangkah. Langkahnya terhenti, sekawanan polisi berjumlah empat orang dengan badan kekar berseragam di depannya. Dengan kasar, polisi itu menarik kerah baju dan memukuli wajahnya dengan peci yang ia kenakan. Pukulan-pukulan itu serasa sakit di kepalanya. Meski peci itu tidak sekeras kayu, namun jika berkali-kali apa boleh buat kalau tidak membuat sakit juga. Mau berlari, namun badannya terlalu lemah karena seharian berjalan berkeliling. Degup jantungnya mengencang. Tidak bejo, benar ia tidak bejo hari ini.
“Oh iki biang keroknya ini. Masuk mobil! Masuk! Cepet! Tak seret nanti kamu!” polisi tanpa henti memukuli wajahnya dengan peci putih, tubuh kurus itu tak sanggup melawan ataupun memberontak. Matanya nanar memerah dan berkaca-kaca. Tidak! Ia tidak boleh menangis, ini untuk Rindiani. Tubuh lemah dengan bau keringat di peci itu memasuki mobil polisi. Ia ketakutan, dan tidak berdaya. Yang diingatnya hanya Rindiani sekarang ini. Mengapa tak menurutimu, Nak? Batinnya.
Ia ditahan sementara di balik jeruji dingin, masih dengan pakaian koko, peci putihnya, dan sendal jepitnya. Berkas-berkas itu, bolpoin mengkilap itu. Ah! Sudah di tangan orang berseragam.
“Pak, bolehkah saya telepon?” dengan wajah melas.
“Assalamualaikum. Iya ini siapa?” Rindiani mengangkat telepon.
“Bapak ditangkap polisi? Bapak sekarang di mana? Bapak bisa pulang? Bapak kapan pulang?” Rindiani menangis dengan tangan bergetar bingung ingin melakukan apa, meminta bantuan siapa. Sungguh ia tak tahu harus bagaimana. Ia menjerit karena Bapaknya belum pulang. Bapak pulang? Apa tidak pulang?
0 comments:
Post a Comment