Roman ‘Kambing dan Hujan' Karya Mahfud Ikhwan
Oleh Lila Anggraini
Paman Mif mengatakan apa yang salah menjadi beda? Ayah Mif yang seorang pimpinan tetua Islam modern kaget mendengar anaknya sedang dimabuk asmara oleh Nurul Fauzia yang ayahnya tetua Islam tradisional. Mengapa Pak Kandar begitu teguh dan kaku ketika Mif meminta untuk direstui dengan Fauzia? Mengapa Pak Fauzan juga terdiam bersalah ketika anak gadisnya merengek minta menikah? Sekali lagi, apa yang salah menjadi beda? Dan mengapa dua orang tua tersebut bersikokoh menggenggam ego? Kultural budaya Islam modern dan Islam tradisional yang berbeda?
Satu ketika, Nurul Fauzia menanti kedatangan kekasihnya Miftahul Abrar di terminal, tempat mereka berjanji bertemu. Ingin kabur dan ingin lari. Namun, sebagai laki-laki Mif sadar, bahwa ini adalah perbuatan laki-laki pecundang. Tidak direstui? Iya! Mif selalu bertanya tentang alasan mengapa tidak boleh, apa yang salah. Tetap saja Mif mendapatkan jawaban tanpa uraian. Si Fauzia? Tetap mendapatkan jawaban palsu yang semakin membuat dirinya penasaran. Mengapa? Mengapa dengan Mif tidak boleh? Apa karena kalau shalat Shubuh Mif tidak pakai qunut? Apa karena Mif tidak bisa bersenandung shalawat?
Saat keduanya putus asa, cerita lama itu kembali behembus, kembali mengingat luka, kembali menjadi pintu jawaban alasan Mif dan Fauzia tidak bisa menembus dinding kokoh yang dibangun oleh orang tuanya. Sebut saja Is dan Moek. Dua sahabat kecil teman bermain, teman bertarung di sebuah gumuk kecil tempat mereka berbagi cerita. Tentang Is yang miskin namun sangat cerdas, tentang rencana Moek pergi ke pondok dan ingin pulang untuk berdakwah. Dua sahabat berbeda nasib tersebut terpisah, namun terus berkabar melalui surat-surat indah yang ditulis dibungkus amplop. Tak jarang Moek mengirimkan kitab yang ia pelajari untuk Is.
Terjadi perbedaan pandangan antara Is dan Moek, sejak Is mengaji di sebuah masjid bersama Cak Ali. Tak kalah dengan Is, Moek juga Cak Ali sendiri. Is konsen pada Islam modern, Moek konsen pada Islam tradisional. Perbedaan ini sebenarnya bukan pokok masalah. Ini tentang lamaran cinta terlarang Is dan seorang gadis yang nantinya menjadi penguat Moek sepanjang usia? Apakah Moek menikung sahabat sendiri? Apakah Is terluka? Mif dan Fauzia mencoba mengulak-alik pengakuan terlarang kedua orang yang mempunyai nama besar di masjid utara dan masjid selatan tersebut? Berhasilkah mereka? Lalu, punya andil apa seorang wanita cantik bernama Hidayatun? Gigihnya Fauzia dan Miftah berhasil menyatukan orang tua yang suka merokok, dan menolak rokok karena asam urat. Mampukah Is dan Moek berangkulan kembali, persis ketika keduanya berpisah di gumuk kecil dahulu?
Jujur Mimin nulis bagian terakhirnya sambil berlinang dan berkaca-kaca. Cerita Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan ini begitu dalam, mengalir, hingga tak terasa sampai di ujung halaman terakhir. Perihal akulturasi Islam, tentang PKI pada saat itu, wujud akulturasi (ini aku ambil dari skripsi Irwan Dwi Prasetya PBSI 2014, teman kelas paling bucin wkwk). Buku ini sangat rekomended. Tentang pakai atau tidak pakainya qunut, tentang niat dan usshalli. Tentang perubahan yang terjadi ketika Islam modern datang ke Indonesia di antara Islam tardisional yang masih dipegang erat oleh orang Jawa. Tentang terjadinya pergesekan yang cukup serius hingga argumen-argumen yang menguras emosi. Sastranya kuat, jalan cerita sangat menarik. Memang layak menjadi juara 1 dalam sayembara DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) tahun 2014. Meski sudah 6 tahun yang lalu, karya roman ini sangat tidak membosankan. Pada Is dan Moek, orang tua keras kepala yang membuat Mimin menangis di akhir halaman, terima kasih :)
“Dan, apa salahnya menjadi berbeda?Tuhan menciptakan makhluk juga
berbeda-beda. Manusia juga berbeda-beda; beda rupa, suku, golongan,
bahasa. Jadi, tidak ada yang salah menjadi berbeda.”
-Mahfud Ikhwan, 2014
Sekian dulu, yuk lanjut baca lagi! Ingin baca tapi tidak ada buku? Klik link di sini
https://id.bookmate.com/books/xLfyeKjY
Lila. A
0 comments:
Post a Comment